Jumat, 17 Juni 2011

Perencanaan Ekowisata yang Berkelanjutan

Abstark

Indonesia sebagai negara megabiodiversity nomor dua di dunia, telah dikenal memiliki kekayaan alam flora dan fauna yang sangat tinggi. Para explorer dari dunia barat maupun timur jauh telah mengunjungi indonesia pada abad ke lima belas yang lalu. Perjalanan eksplorasi yang ingin mengetahui keadaan telah dilakukan oleh marcopollo, Washington, Wallacea, Weber, Junghuhn dan Van Steines dan masih banyak yang lain merupakan perjalanan antar pulau dan antar benua yang penuh dengan tantangan. Para adventner ini melakukan perjalanan ke alam yang merupakan awal dari perjalanan ekowisata (ecotourism). Meskipun telah banyak hasil studi dan definisi para ahli memberikan pengertian tentang ecotourism, namun menurut Fandeli, (2000), pemakaian istilah ekowisata lebih populer dibanding dengan terjemahan yang seharusnya dari istilah ecotourism, yaitu ekoturisme, yang pada tahun 1990 oleh the ecotourism society didefinisikan sebagai bentuk perjalanan wisata bertanggung jawab ke area alami dan berpetualang, yang dilakukan untuk tujuan konservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan untuk kesejahteraan penduduk setempat. Keragaman sudut pandang para ahli menyangkut definisi dan pengertian ekoturisme cukup dinamis dan positif sepanjang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan disiplin ilmu ekoturisme itu sendiri. Walaupun dari segi keilmuan belum final, setidaknya Avenzora, (2003) telah merangkum berbagai definisi ecotourism yang ada dalam satu terminologi tiga pola yaitu: (1) berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai dari konsep yang ditawarkan, (2) Berorientasi pada sumberdaya wisata yang digunakan, dan (3) berorientasi pada bentuk-bentuk kegiatan wisata yang diselenggarakan. Definisi dan pengertian ecotourism di atas, sekedar memberikan pemahaman bahwa dinamika ekowisata sebagai bidang ilmu telah diminati oleh banyak kalangan khususnya scholars.

1. Jasa Pelayanan Sebagai Produk Ekowisata
Secara umum produk jasa pelayanan berbeda dengan produk manufaktur, sebab jasa pelayanan terdiri dari tindakan dan interaksi yang merupakan kontak sosial secara langsung antara produsen dan konsumen. Sedangkan produk manufaktur tidak terdapat kontak langsung dan bukan merupakan kontak sosial, Schroeder (2007).
Untuk memahami lebih dalam mengenai jasa pelayanan secara umum, di bawah ini ditampilkan tabel perbedaan antara produk manufaktur dan produk Jasa pelayanan:
Perbedaan Antara Produk Manufaktur dan Jasa pelayanan
Produk Manufaktur Produk Jasa Pelayanan
Produk dapat terlihat (Tangible) Produk tak terlihat (intagible)
Kepemilikan dialihkan pada saat pembelian Kepemilikan pada umumnya tidak dialihkan
Produk dapat dijual kembali Tidak mungkin dijual kembali
Dapat didemonstrasikan sebelum dibeli Tidak ada sebelum dibeli
Dapat disimpan dalam persediaan Tidak dapat disimpan
Produksi mendahului konsumsi Produksi dan konsumsi terjadi secara serentak
Produksi dan konsumsi dapat dipisahkan dalam lokasi Produksi dan lokasi harus terjadi pada lokasi yang sama
Produk dapat dipindahkan Produk tidak dapat dipindahkan (meskipun produsen dapat)
Penjual memproduksi Pembeli mengambil bagian langsung dalam proses produksi dan benar-benar dapat melakukan sebagian produksi
Produk dapat dieksport Jasa tidak dapat diekspor, tapi sistem pelayanan jasa dapat
Bisnis diorganisasi berdasarkan fungsi, dengan penjualan dan produksi terpisah Penjualan dan produksi tidak dapat dipisahkan secara fungsional
Sumber: Richard Norman, service management; Strategy and Leadership in the Service
Membandingkan jasa layanan seperti yang disampaikan pada tabel di atas dengan jasa layanan sebagai produk ekowisata, tentunya nyaris memiliki kemiripan secara umum, namun secara spesifik dapat berbeda. Apabila Jasa layanan ekowisata berorientasi pada wisata masal, maka masuk pada kategori jasa yang bercirikan interkasi dan pelayanan yang rendah dengan intensitas tenaga kerja yang rendah, dan bersifat padat karya. Namun apabila jasa layanan ekowisata berorientasi pada wisata terbatas dan minat khusus, maka sangat menuntut
Membandingkan jasa layanan seperti yang disampai profesionalitas dengan tingkat derajat interaksi dan pelayanan yang tinggi, sehingga menurut Schroeder (2007), jasa tersebut bersifat customization.
Davis (Dalam fennell, 2002) mendefinisikan produk pariwisata yaitu; Tourism products might more appropriately be viewed. as services, instead of goods, because tourism is an experiential phenomenon that brings people and places together over defined periods of time. Hampir senada dengan pendapat diatas, Wahab, (1989) memberikan batasan tentang Produk wisata sebagai jasa-jasa pelayanan yang berbeda dengan produk jasa lain yang ada dipasaran, bersifat kaku (rigit) dan karena belum menjadi kebutuhan pokok maka bersaing dengan produk jasa lainnya.
Sedangkan Pendit, (1999) menyampaikan produk wisata adalah segala bentuk pelayanan yang disajikan bagi kebutuhan wisatawan, berupa benda-benda pariwisata yang bersifat material maupun non-material.
Implikasi definisi diatas menegaskan dua hal penting dalam rangka pengembangan ekowisata dari perspektif jasa pelayanan yaitu pertama, produk ekowisata disebut sebagai jasa pelayanan (service) “terpadu”. pelayanan dimaksud secara implisit dapat terlihat dari multiple-mission yang diemban oleh pembangunan pariwisata di Indonesia (lihat; Nirwandar 2007), diantaranya tourism sebagai industri diharapkan akan mampu menyediakan jasa layanan alam dan lingkungan (supply of environmental service) tanpa mengubah fungsi dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat lokal (local needs). Kedua, produk ekowisata disebut sebagai jasa pelayanan dalam rangka menciptakan kepuasan (demand) experiential of phenomenal bagi wisatawan yang berkunjung ke tempat-tempat wisata. implikasi pertama (supply), sebagai faktor prasyarat yang harus tersedia agar atribut pelayanan dapat terwujud, Seperti faktor sarana-prasaranan, faktor obyek dan daya tarik wisata alam, serta faktor kenyamanan, syahadat (2006). Sedangkan implikasi yang kedua, menunjukan bahwa kepuasan wisatawan menjadi prioritas dalam penyajian jasa layanan ekowisata, diindikasikan sebagai experiential of phenomenal, yang oleh fennell, (2002) disebut kebutuhan psikologis pengunjung.
Mempertimbangkan apa yang disampaikan yoeti, (2008) bahwa ekowisata ibarat memiliki pisau bermata dua karena menyelaraskan antara kepentingan bisnis dengan misi konservasi sumberdaya alam dan sosial, sebetulnya menggambarkan tingginya tingkat kesulitan manajemen ekowisata dalam hal jasa pelayanan. Kasus dampak negatif yang ditimbulkan, berupa pencemaran ekosistem air sebagai akibat perilaku pengunjung wisata alam di Taman Nansional Gunung Gede Pangrango (Sawitri dkk, 2004), kurang memadainya jasa pelayanan transportasi bagi perkembangan pariwisata di Daerah Istimewa Yokjakarta (sari dkk, 2002), adalah bukti nyata bahwa penanganan jasa pelayanan ekowisata masih perlu mendapat perhatian serius.
2. Pengguna dan penyedia Jasa Layanan Ekowisata
Ketika kita tengah menikmati sebuah jasa layanan, misalkan di salah satu restoran kelas menengah keatas, biasanya kita membaca sebuah tulisan pemberitahuan “Apabila anda tidak puas dengan pelayanan kami, silahkan hubungi nomor telepon ini .........” atau penyampaian secara lisan oleh karyawan restoran, misalnya; “mohon maaf bapak/ibu, kalau ada yang kurang dalam pelayanan ini tolong beritahukan kami”.
Tulisan maupun penyampaian lisan tersebut tentunya memiliki tujuan khusus, baik bagi pengguna jasa layanan maupun penyedia jasa yaitu, pertama; penyedia jasa ingin meyakinkan kepada pengguna jasa bahwa produk yang ditawarkan berkualitas baik, dengan dibuktikan adanya “garansi”. kedua, secara psikologis agar pengguna jasa merasa nyaman karena diikutsertakan dalam menentukan proses produksi jasa layanan yang sedang berlangsung. Ketiga, sebagai evaluasi formatif bagi internal manajemen penyedia jasa.
Contoh kasus diatas mengilustrasikan bagaimana intervensi terhadap perilaku konsumen dilakukan secara tidak langsung. Peluang yang diharapkan terjadi adalah diagnosa mengukur selera konsumen berupa cita rasa, kenyamanan, dan kepuasan terhadap produk jasa layanan yang ditawarkan pemilik rumah makan.
Dalam konteks jasa layanan ekowisata, kasus serupa dapat dilakukan dengan metode yang berbeda. Misalkan seperti yang dicontohkan Fennell (2002), dalam mendiagnosa selera calon wisatawan, maka terlebih dahulu penyedia jasa ekowisata harus melakukan komunikasi intens dengan calon wisatawan, agar dapat mengetahui kebutuhan seperti apa yang diperlukan selama melakukan perjalanan wisata. Mengetahui keterkaitan antara permintaan dengan resources and supply sudah diingatkan oleh hall dan Stephen (dalam Avenzora, 2003), bahwa harus mampu mengenali human demand as a participation, dan human demand as a desire to engage in recreation.
Untuk mengenali recreation of demand, oleh sebagian literatur telah memperkenalkan demand typology, mulai dari potential demand, induced demand dan actual demand, hingga suppressed demand, subtitution of demand, dan redicection demand. Sedangkan untuk mengenali supply of resources , Avenzora (2003) mendefinisikan sebagai: “suatu ruang tertentu dengan batas-batas tertentu yang mengandung elemen-elemen ruang tertentu yang dapat : (1) menarik minat orang untuk berekreasi, (2) menampung kegiatan rekreasi, dan (3) memberikan kepuasan orang berekreasi” Dari sudut pandang psikologis, Ahola (dalam Fennell, 2002) memberikan pandangan, alasan kebutuhan wisatawan untuk bepergian yaitu: (i) untuk mencari pemuasan batin (kebanggaan), dan (ii) melarikan diri dari rutinitas keseharian (penghindaran). Dua kekuatan motivasional ini secara simultan mempengaruhi pilihan perjalanan seseorang.
Pilihan-pilihan tersebut bahkan sudah terpola kedalam bentuk-bentuk karakter keinginan wisatawan (demand typology), seperti yang disampaikan avenzora (2008), sebagai berikut:
1. Venture-someness : adalah wisatawan ingin mencari dan menggali, untuk cenderung menjadi pengunjung pertama pada tujuan wisata.
2. Peleasure-seeking: adalah wisatawan ingin mendapatkan kenyamanan dalam segala hal selama perjalanan, baik transportasi perjalanan, jasa hotel maupun wisata hiburan
3. Impassivity: adalah wisatawan yang cepat dalam pengambilan keputusan dengan tanpa perencanaan
4. Self-confidence: adalah wisatawan yang memiliki percaya diri untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Hal ini tercermin ketika menentukan kegiatan wisata ditempat tujuan akan selalu berbeda.
5. Planfulness: adalah wisatawan yang melakukan perencanaan perjalanan lebih awal, dengan mempertimbangkan program-program wisata sebelumnya.
6. Masculinity: adalah wisatawan yang selalu berorientasi pada aksi perjalanan yang penuh tantangan
7. Intelektualisme: adalah wisatawan yang memilih tujuan wisata sejarah dan budaya, meskipun harus membayar mahal.
8. People orientation: adalah wisatawan yang berorientasi pada menjalin hubungan sosial dengan orang-orang yang mereka kunjungi.

Berdasarkan tipologi diatas maka dapat ditarik beberapa kesamaan karakter wisatawan sebagai berikut:
1. Keinginan untuk mendapatkan kepuasan menjadi sesuatu yang prioritas.
2. Keinginan untuk mendapatkan kenyamanan selama perjalanan menuju destinasi sampai kembali pulang
3. Keinginan untuk mendapatkan pengalaman yang berarti dalam hidup.

Kesamaan karakter keinginan diatas, disebut sebagai bentuk harapan untuk memenuhi kebutuhan (lihat: Fennell, 2002), yaitu perkiraan atau keyakinan tentang sesuatu yang akan diterima melalui berbagai informasi (kotler, 1997). Dalam konteks sebagai konsumen ekowisata, ciri khas karakter tersebut yang membedakan antara ekowisatawan dengan wisatawan pada umumnya. Berkaitan dengan kualitas layanan, seorang ekowisatawan tidak hanya sekedar menuntut kenyamanan dalam perjalanan menuju destinasi, kegiatan di destinasi, perjalanan pulang dari destinasi. Akan tetapi lebih dari pada itu adalah, esensi berpetualang, menghadapi tantangan dan rintangan alam liar, memburu keunikan, merupakan sesuatu kebutuhan yang harus terpenuhi dalam pelayanan.
Pada sisi lain, pemenuhan kebutuhan agar sesuai harapan, harus diimbangi oleh ketersediaan faktor-faktor supply yang berhubungan dengan atribut jasa pelayanan (hannah and krp, 1991), seperti yang disampaikan Coper et.al (1993) dalam mahadewi (2008) yaitu:
1. Atraksi (Attraction), yaitu semua atraksi yang menarik wisatawan kesuatu tempat, baik atraksi alam maupun budaya
2. Akessibilitas (Accessibilities), kemudahan mencapai destinasi, yang meliputi tersedianya transportasi (frekuensi, kenyamanan, dan keamanan), izin masuk DTW dan kemudahan mendapatkan informasi.
3. Amenitas atau fasilitas (Amenities), tersedianya akomodasi, rumah makan, agen perjalanan.
4. Ancillary services, yaitu bentuk dari wadah organisasi pariwisata, seperti dmo (destination marketing/management organozation)

Apabila pemenuhan kebutuhan wisatawan tidak terpenuhi oleh atribut pelayanan yang disediakan, atau tidak terjadi keterkaitan yang sinergis antara recreation demand dan resources suplply, maka yang akan terjadi adalah terciptanya kesenjangan-kesenjangan, antara jasa yang diharapkan dengan jasa yang dirasakan, antara penyampaian jasa dengan penjabaran jasa, antara persepsi manajemen dengan penjabaran jasa, pada level kualitas jasa yang ditawarkan,

Hal ini dapat terjadi karena tiga faktor, yaitu tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa, kekurangan sumberdaya dan karena adanya kelebihan permintaan.3) Gap antara kualifikasi spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa; kesenjangan ini terjadi disebakan oleh karyawan kurang terlatih, beban kerja melampaui batas, tidak dapat memenuhi strandar kinerja yang ditetapkan.(4) Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal; harapan dan janji penyedia jasa tidak sesuai kenyataan. (5) Gap antara jasa yang dirasakan dan jasa yang di harapkan; gap ini terjadi apabila wisatawan mengukur kinerja organisasi dengan cara yang berlainan, atau bisa juga keliru mempersepsikan kualitas jasa tersebut.
3. Manajemen Pelayanan Jasa Ekowisata
Mewujudkan keterkaitan antara permintaan recreation dengan resources and supply dalam konteks jasa pelayanan ekowisata, maka mutlak dirumuskan terlebih dahulu sebuah rancangan proses produksi, dengan mempertimbangkan empat elemen produksi jasa, Schoroeder (2007), yaitu: Wisatawan, Manusia/operator, strategi dan sistem, seperti dalam gambar 2. dibawah:

Rancangan Proses Produksi

Sumber: Schoroeder (2007). (telah dimodivikasi)
Gambar diatas menjelaskan tentang konsep keterkaitan antara masing-masing elemen dalam segitiga jasa yaitu, wisatawan yang berada ditengah sebagai pusat yang harus mendapatkan jasa pelayanan dari manusia/karyawan. Strategi adalah pandangan atau filosopi yang digunakan untuk menuntun segala aspek pelayanan jasa, serta sistem adalah fisik dan prosedur yang digunakan. Garis yang menghubungkan masing-masing elemen menggambarkan beberapa interpretasi yakni; garis dari wisatawan ke strategi, menunjukan bahwa strategi menempatkan wisatawan terlebih dahulu, dengan menemukan kebutuhan wisatawan yang sebenarnya. Manajemen harus mengidentifikasi apa yang menjadi harapan wisatawan untuk mendisain jasa layanan, Schroeder (2007); apa yang diinginkan wisatawan?, bagaimana mengkomunikasikannya?, apakah yang ditawarkan adalah sesuatu yang unik?, Avenzora (2003); (1) Apa dan berapa banyak yang dapat diberikan, (2) kapan dapat diberikan, dan (3) kepada siapa dapat diberikan.
Garis dari wisatawan ke sistem menunjukan bahwa sistem (prosedur dan peralatan) sesuai dengan harapan wisatawan. Kenyamanan dalam perjalanan menuju dan pulang dari destinasi, dan rasa aman selama beraktifitas di destinasi, tak ketinggalan pula menciptakan momentum pembuktian kebenaran antara fakta destinasi dilapangan dengan promosi pada iklan atau brosur, atau yang telah dikomunkasikan sebelumnya, yang Kesemuanya harus dirancang dalam sistem pelayanan terpadu.
Garis dari wisatawan ke manusia/karyawan menunjukan bahwa setiap karyawan memberikan pelayanan yang terbaik kepada wisatawan, baik operator maupun manejer program. Pada fase ini, menurut Muntasib (2009), Kualitas SDM karyawan sangat menentukan kualitas produk pelayanan ekowisata. Kemampuan interpreter dan guide yang terlatih adalah bagian dari proses operasi jasa layanan yang membuktikan kinerja organisasi penyedia jasa.
Konsep yang berhubungan dengan segitiga jasa seperti penjelasan diatas, memberikan suatu cara berfikir yang menarik tentang operasi jasa. Selain bermanfaat untuk merancang sistem jasa layanan, juga dapat digunakan untuk mendiagnosa masalah jasa dan menemukan penyebab timbulnya pelayanan yang buruk.
Setiap pelayanan jasa ekowisata disampaikan dalam suatu siklus jasa, siklus tersebut diawali dari titik di mana wisatawan pertama kali berhubungan dengan sistem pelayanan jasa. Dimulai dari pra-perjalanan, perjalanan menuju destinasi, kegiatan di destinasi, perjalanan pulang dari destinasi dan tahap rekoleksi. Albert (dalam Schroeder, 2007) menekankan gagasan “saat-saat kebenaran (moments of truth)” adalah setiap saat di mana wisatawan berhubungan dengan sistem pelayanan dalam siklus pelayanan jasa. Pengelolaan “saat-saat kebenaran” dengan baik untuk menciptakan suatu pengalaman pelayanan yang positif adalah intisari manajemen jasa.

Penutup
Standarisasi pelayanan jasa ekowisata dewasa ini sudah sangat dibutuhkan oleh lembaga-lembaga yang dipercayakan sebagai operator dalam mengelola obyek wisata alam pada kawasan konservasi dan hutan lindung. Setidaknya dengan memiliki pedoman yang standar, diharapkan akan merangsang tumbuhnya indusri-industri ekowisata.

Daftar Pustaka
1. Anonim, 2000. Faktor Daya Tarik Obyek Sumber Daya Alam Sekawasan Sesuai Permintaan Pasar Dalam Meningkatkan Kunjungan Wisata Di Jawa Tengah http://www.balitbangjateng.go.id/kegiatan/penelitian2008/c2__pariwisata.pdf. Diakses 2 desember 2009
2. Avenzora, R. 2003a. Perencanaan Pengembangan Pariwisata Alam Nasional Di Kawasan Hutan: Wissenchaftlichesplannung VS Leidbildsplannung. Makalah disampaikan Dalam Lokakarya Pembahasan Draf Rencana Pengembangan Pariwisata alam Nasional di Kawasan Hutan Oleh Ditjen PHKA, Departemen Kehutanan; Hotel Salak Bogor, 30 desember 2003.
3. Avenzora, R. 2003b. Ekoturisme: Evaluasi Konsep. Media Konservasi, Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan. Vol. VIII/Nomor 2, Juni 2003. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
4. Avenzora, R. 2003c. Rekreasi Perkotaan : Sebuah Tantangan. Media Konservasi, Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan Lingkungan, Vol. VIII/Nomor 3, Desember 2003. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
5. At, M., Susdiyanti, T., Septiana, W, 2004. Pengembangan Interpretasi Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924) Dalam Kegiatan Ekowisata Di Resort Cikaniki Taman Nasional Gunung Halimun. Jurnal Ilmu-Ilmu Kehutanan Nusa Sylva, Vol. 4 Nomor 2, Desember 2004.
6. Anaz, S. 2007. Pengaruh Kualitas Jasa Pelayanan Terhadap Kepuasan Konsumen Pada Wisata Bahari Lamongan. http://one.indoskripsi.com/content/pengaruh-kualitas-jasa-pelayanan-terhadap-kepuasan-konsumen-pada-wisata-bahari-lamongan, Diakses 2 Desember 2009
7. Basuni, S. 2001. Ekoturisme, Manajemen Konservasi dan Otonomi Daerah. Jurnal Media Konservasi Vol. VII, Nomor 2, Juni 2001. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
8. Dawy, M. 2004. Pengembangan Ekowisata Di Daerah Aliran Sungai Mai’ting Kabupaten Tana Toraja. Jurnal Bumi Kita, Lingkungan Hidup Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. UMPAR Pres. Sulawesi Selatan.
9. Erna ferrinadewi, 2008. http://paul02583.files.wordpress.com/2008/05/ma06010402.pdf. Diakses 2 desember 2009
10. Engel, J.F., Blackwell, R.D., Miniard, P.W. 1994. Perilaku Konsumen Jilid 1. Binarupa Aksara, Jakarta.
11. Fennell, D.A. 2002. Ecotourism programme Planning. CABI Publishing is a Division of CAB International
12. Fitriani, L., Prasetyo, L.B., soekmadi, R. 2004. Kajian Pengembangan ekowisata Pulau-pulau Kecil Kawasan Bungus teluk Kabung, Kota Padang. Jurnal Pascasarjana Vol. 27 Nomor 1 Januari 2004, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
13. Halim, H.S., Tarumingkeng, R.C., Kartodihardjo, H., Sekartjakrarini, S. 2006. Penerapan Konsep Ekowisata Untuk meningkatkan Daya Saing Pariwisata Pesisir Di Kabupaten Pandeglang. Jurnal Forum Pascasarjana, Volume 29 Nomor 2 April 2006, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
14. Kolter, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran: Analisis, perencanaan, Implementasi dan Pengendalian (Edisi Kedelapan Terjemahan Arcella Ariwati Hermawan), Jakarta: Salemba Empat
15. Muntasib, E.K.S.H., Mulyadi, K. 1997. Manajemen Wisata Alam Dan Kelestarian Badak Jawa Di Taman nasional Ujung Kulon. Jurnal Media Konservasi Edisi Khusus.
16. Muntasib, E.K.S.H. 2009. Materi Matakuliah Perencanaan Pelayanan Ekowisata. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor.
17. Manafe, A.M. 2008. http://atanaamah.files.wordpress.com/2008/02/artikel-5-rocky.pdf. Diakses 2 desember 2009
18. Natalisa, D. 2007. Survey Kepuasan Pelanggan. Jurnal Penelitian manajemen Dan Bisnis Sriwijaya, Vol. 5 Nomor 9, Juni 2007. UNSRI http://digilib.unsri.ac.id/download/jurnal%20mm%20vol%205%20no%209%20artikel%201%20diah%20nataliza.pdf. Diakses 2 Desember 2009
19. Tebaiy, S., Kusumastanto, T., Purwanto, J., 2005. Kajian pengembangan Ekowisata Mangrove Berbasis masyarakat Di Taman Wisata Teluk Youteva, Jayapura, Papua. Jurnal Forum Pascasarjana, Volume 28 Nomor 2 April 2005, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
20. Rakatama, A. 2008. Kontribusi Aktifitas wisata Alam Di Taman nasional Way Kambas Terhadap Perekonomian Setempat. Jurnal Penelitian & Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 8 Nomor 1, Maret 2008. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.
21. Sawitri, R., Heryanto, N.M.,Santosa, H. 2004. Pengaruh Kegiatan Wisata Alam Terhadap Kelestarian Lingkungan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Vol. 1 (3) 2004: 326 -336, Bogor Indonesia.
22. Syahadat, E. 2006. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kunjungan Wisatawan Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP), Jurnal Penelitian & Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 3 Nomor 1 Maret 2006, Hal. 1-16, Bogor Indonesia.
23. Sunari., Alikodra, H.S., Mudikdjo, K., Dahuri, R. 2005. Model Kebijakan Daerah Dalam Pengembangan Ekowisata: Studi Kasus Di Kabupaten Indramayu. Jurnal Forum Pascasarjana, Vol. 28 Nomor 4 Oktober 2005, Hal. 357-365, Sekolah Pascasarjanan Institut Pertanian bogor.
24. Schroeder, R.G. 2007. Manajemen Operasi; Pengambilan Keputusan Dalam Suatu Fungsi Operasi. Edisi ketiga Jilid 1. IKAPI, Jakarta.
25. Sangpikul, A., Batra, A. 2007. Ecotourism: Knowladge, Attitude and Travel Experience Of Thai Youths. Journal Of Houspitality, Leisure, Sport And Tourism Education Vol. 6 No. 1
26. Pratiwi, S., Alikodra, H.S., Sekartjakrarini, S., Kartodihardjo, H, 2008. Analisis Ekowisata Di taman nasional Gunung Halimun. Jurnal Forum Pascasarjana, Vol. 31 Nomor 3 Juli 2008, Hal. 153-162, Sekolah Pascasarjanan Institut Pertanian bogor.
27. Pratomo, 2006. Formulasi Strategi Pengembangan Ekowisata Di Taman nasional Gunung gede Pangrango. Ekologia, Jurnal Ilmiah Ilmu Dasar Dan Lingkungan Hidup Vol. 6 nomor 1, april 2006.
28. Purnamasari, Q., Muntasib, E.K.S.H., Indrawan A, Kajian pengembangan produk Wisata Alam Berbasis Ekologi Di Wilayah Wana Wisata Curug Cilember (WWCC), Kabupaten Bogor. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XI Nomor 1, Januari-Juni 2005.
29. Pendit, N.S. 1999. Ilmu Pariwisata, sebuah Pengantar Perdana. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Utami, W. 2008. Relationship Effort Dan Kualitas Layanan Sebagai Strategi Penguat Relationship Outcomes http://paul02583.files.wordpress.com/2008/05/mar06010103.pdf. Diakses 2 Desember 2009

Kamis, 02 Juni 2011

Teori Konsentris

Teori Konsentris
Menurut Teori Konsentris (Burgess,1925) DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings).
Model zona konsentrik atau Teori konsentris adalah teori mengenai perencanaan perkotaan yang dikembangkan oleh seorang sosiolog asal Amerika Serikat bernama Ernest Burgess berdasarkan hasil penelitiannya terhadap kota Chicago yang dilakukan pada tahun 1925.Burgess menyimpulkan bahwa wilayah perkotaan dapat dibagi menjadi enam zona
“Model” yang paling terkenal dari area sosial urban ini direncanakan oleh E.W Burgess di tahun 1923 dan telah dikenal sebagai Zona l atau Teori Konsentris. Model ini didasarkan pada konsep bahwa perkembangan sebuah kota terjadi ke arah luar dari area sentralnya, untuk membentuk serangkaian zona-zona konsentris. Zona ini dimulai dengan Central Business District, yang dikelilingi dengan area transisi. Kemudian zona transisi ini dikelilingi oleh zona perumahan pekerja. Lebih jauh dari pusat kota adalah hunian yang lebih luas, ditempati oleh kelompok-kelompok kelas menengah. Terakhir adalah zona komuter yang terletak di luar area built up kota, batas terluarnya merupakan satu jam perjalanan dari pusat kota, dimana sejumlah besar populasi zona ini bekerja. Pada prakteknya, banyak kota-kota menunjukkan sebuah bentuk bintang (star-shaped) daripada konsentris, dengan perkembangan urban didorong untuk terjadi di sepanjang highway (jalan tol) yang menyebar dari pusat kotanya dan tipe berlawanan atau pemanfaatan lahan urban yang ditemukan diantara jalan-jalan utama. Teori ini juga telah dimodifikasi oleh pernyataan bahwa wilayah urban yang identik tidak diharapkan berada dalam zona konsentris, tapi jenis tipe pemanfaatan lahan tersebut cenderung terjadi pada jarak yang sama dari pusat, seringkali dalam bentuk tambal sulam (patches) daripada membentuk ring yang kontinyuKota Multi-Pusat Teori konsentris dan teori sektor memiliki kelebihan dalam kesederhanaannya yang atraktif, tapi situasi dalam kebanyakan kota mungkin terlalu rumit untuk dicakup dalam sebuah generalisasi yang mudah dipahami. Sebagai akibatnya, teori-teori tersebut telah dirancang dengan rumit, memberikan hasil yang lebih mirip dengan realitas, tapi pada waktu yang sama menjadi kurang jelas daripada pernyataan sebelumnya. Salah satu contoh dari perancangan ini adalah Teori Multi Nuclei , yang dikembangkan oleh dua ahli geografi, C.D Harris dan E. Ullman, di tahun 1945. Teori ini menyatakan bahwa kota-kota memiliki struktur seluler, dimana tipe pemanfaatan lahan telah dikembangkan disekeliling titik pertumbuhan tertentu, atau “nuclei”, di dalam area urban. Pengelompokan pemanfaatan lahan khusus di sekeliling nuclei ini telah didorong oleh empat faktor, yang mempengaruhi distribusi aktivitas-aktivimanusia di dalam sebuah kota dalam berbagai cara. Untuk memulainya, aktivitas-aktivitas tertentu membutuhkan fasilitas-fasilitas tertentu pula, baik yang ditemukan secara alami atau dibuktikan di kemudian hari oleh usaha manusia. Lokasi Central Business District pada titik aksesibilitas maksimal memberikan sebuah ilustrasi faktor ini. Atau sekali lagi, aktivitas-aktivitas tertentu mengelompok bersama karena mereka mendapatkan profit dari kohesi, sebuah contoh mengelompokkan industri pakaian jadi dalam distrik dalam (inner district) di beberapa kota besar. Aktivitas-aktivitas lain saling mengganggu satu sama lain dan normalnya tidak ditemukan dalam penyejajaran yang dekat: sebagai contoh, industri berat dan area residensial kelas-atas jarang ditempatkan saling berdekatan. Terakhir, aktivitas-aktivitas tertentu tidak dapat menjangkau sewa di lokasi-lokasi yang paling diinginkan: lokasi area perumahan yang lebih murah atau fasilitas penyimpanan besar memberikan contoh faktor ini dalam sebuah operasional. Ide multi nuclei mengakui fakta bahwa geografi internal kota memberikan pengaruh yang besar terhadap keganjilan lokasi-lokasi individualnya, serta operasi dari kekuatan ekonomi dan sosial yang lebih umum. Di dalam teori Multi Nuclei pula, sejarah kota-kota individual juga dilihat sebagai sebuah faktor yang penting dalam membentuk perkembangan urban. Apapun alasan kemunculannya, setelah nuclei untuk berbagai tipe aktivitas telah dikembangkan, faktor umum akan mendorong aktivitas urban tersebut menjadi pemanfaatan lahan yang mengkonfirmasikan dan mengembangkan pola yang sudah ada. Baik teori Konsentris maupun teori Sektor berasumsi bahwa sebuah kota yang khas akan tumbuh di sekeliling satu pusat tunggal; dan bahkan diagram dimana Harris dan Ullman mengilustrasikan teori Multiple Nuclei mereka membuat asumsi yang sama, meski jelasnya ide mereka dapat diaplikasikan pada contoh-contoh yang lebih kompleks

Karakteristik masing-masing zona dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Zona 1 Daerah Pusat Kegiatan (DPK) atau Central Business District (CBD)
Daerah ini merupakan pusat dari segala kegiatan kota antara lain sebagai pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lebih lama (storage buildings).

2. Zone 2: Daerah Peralihan (DP) atau Transition Zone (TZ)
Zona ini merupakan daerah yang mengalami penurunan kualitas lingkungan permukiman yang terus-menerus dan makin lama makin hebat. Penyebabnya antara lain karena adanya intrusi fungsi yang berasal dari zona pertama sehingga perbauran permukiman dengan bangunan bukan untuk permukiman seperti gudang kantor dan lain-lain sangat mempercepat terjadinya deteriorisasi lingkungan permukiman. Perdagangan dan industri ringan dari zona pertama, banyak mengambil daerah permukiman. Proses subdivisi yang terus-menerus, intrusi fungsi-fungsi dari zona pertama mengakibatkan terbentuknya “slums area” (daerah permukiman kumuh) yang semakin cepat dan biasanya berasosiasi dengan “areas of poverty, degradation and crime”. Disamping menjalarnya “bridgeheaders” ke zona ini nampak pula “outflow” dari penduduk yang sudah mampu ekonominya (consolidator) atau yang tidak puas dengan kondisi lingkungan keluar daerah.
3. Zone 3: Zona perumahan para pekerja yang bebas (ZPPB) atau “Zone of independent workingmen’s homes”
Zona ini paling banyak ditempati oleh perumahan pekerja-pekerja baik pekerja pabrik, industri dan lain sebagainya. Di antaranya adalah pendatang-pendatang baru dari zona kedua, namun masih menginginkan tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerjanya. Belum terjadi invasi dari fungsi industri dan perdagangan ke daerah ini karena letaknya masih dihalangi oleh zona peralihan. Kondisi permukimannya lebih baik dibandingkan dengan zona kedua walaupun sebagian besar penduduknya masuk dalam kategori “low-medium status”.
4. Zone 4: Zona permukiman yang lebih baik (ZPB) atau “Zone of Better
Residences” (ZBR)
Zona ini dihuni oleh penduduk yang berstatus ekonomi menengah-tinggi, walaupun tidak berstatus ekonomi sangat baik, namun mereka kebanyakan mengusahakan sendiri “business” kecil-kecilan, para profesional, para pegawai, dan lain sebagainya. Kondisi ekonomi umumnya stabil sehingga lingkungan permukimannya menunjukan derajad keteraturan yang cukup tinggi. Fasilitas permukiman terencana dengan baik sehingga kenyamanan tempat tinggal dapat dirasakan pada zona ini.
5. Zone 5: Zona para penglaju (ZP) atau Commuters Zone (CZ)
Timbulnya penglaju merupakan suatu akibat adanya proses desentralisasi permukiman sebagai dampak sekunder dari aplikasi teknologi di bidang transportasi dan komunikasi. Di daerah pinggiran kota mulai bermunculan perkembangan permukiman baru yang berkualitas tinggi sampai luxurious. Kecenderungan penduduk yang oleh Turner (1970) disebut sebagai “status seekers” ini memang didorong oleh kondisi lingkungan daerah asal yang dianggap tidak nyaman dan tertarik oleh kondisi lingkungan zone 5 yang menjanjikan kenyamanan hidup. Oleh karena zona-zona tercipta ini sebagai akibat interaksi-interaksi dan interrelasi elemen-elemen sistem kehidupan perkotaan dan mengenai kehidupan manusia, maka sifatnyapun sangat dinamis dan tidak stabil.
Pembagian zone menurut Teori Konsentris :
Daerah pusat kegiatan
Zona peralihan
Zona perumahan para pekerja
Zona permukiman yang lebih baik
Zona para penglaju
Kelompok yang menolak Teori Konsentris :
• Davie
• Hatt
Alasan penolakan terhadap Teori Konsentris :
 Ada pertentangan antara gradeints dengan zonal boundaries
 Homogenitas internal yang tidak sesuai dengan kenyataan
 Skema yang anakronistik/out of date
 Teorinya kurang bersifat universal

Kelompok yang mengembangkan Teori Konsentris :
Teori ketinggian bangunan (Bergel)
Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955). Teori ini menyatakan bahwa perkembangan struktur kota dapat dilihat dari variabel ketinggian bangunan. DPK atau CBD secara garis besar merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi, aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan secara vertikal. Dalam hal ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan kegiatan perdagangan (retail activities), karena semakin tinggi aksesibilitas suatu ruang maka ruang tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat ekonominya.

Teori sektor ( Hommer Hoyt)
Teori Konsektoral (Griffin dan Ford, 1980). Teori Konsektoral dilandasi oleh strutur ruang kota di Amerika Latin. Dalam teori ini disebutkan bahwa DPK atau CBD merupakan tempat utama dari perdagangan, hiburan dan lapangan pekerjaan. Di daerah ini terjadi proses perubahan yang cepat sehingga mengancam nilai historis dari daerah tersebut. Pada daerah – daerah yang berbatasan dengan DPK atau CBD di kota-kota Amerika Latin masih banyak tempat yang digunakan untuk kegiatan ekonomi, antara lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi lemah dan sebagian lain dipergunakan untuk tempat tinggal sementara para imigran.
Teori poros (Babcock)
Menitikberatkanpada peranan transportasidalam mempengaruhistruktur keruangan kota.Asumsi: mobilitas fungsi-fungsi dan penduduk mempunyaiintensitasyang sama dan topografi kota seragam.Faktorutama yang mempengaruhimobilitas adalah porostransportasiyang menghubungkanCBD dengan daerah bagianluarnya.Aksesibilitas memperhatikanbiaya waktu dalam sistem transportasiyang ada.Sepanjangporos transportasiakan mengalami perkembanganlebihbesar dibanding zone diantaranya.Zone yang tidak terlayani dengan fasilitas transport yang cepat,akan bersaing dalam

Teori pusat kegiatan banyak (Harris dan Ullman)
Menurut Harris dan Ullman dalam Daldjoeni (1992:158) menilai bahwa kota tidak seteratur penggambaran Burgess karena antar kawasan kota seolah berdiri sendiri. Sruktur ruang kota tidaklah sesederhana dalam teori konsentris. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya urutan-urutan yang teratur yang dapat terjadi dalam suatu kota terdapat tempattempat tertentu yang befungsi sebagai inti kota dan pusat pertumbuhan baru.

Teori ukuran kota (Taylor)
Model Burgess menurut Short (1984) adalah suatu model untuk kota yang mengalami migrasi besar-besaran dan pasar perumahan didominasi oleh Private sector.
Ciri khas utama teori ini adalah adanya kecenderungan, dalam perkembangan tiap daerah dalam cenderung memperluas dan masuk daerah berikutnya (sebelah luarnya). Prosesnya mengikuti sebuah urutan-urutan yang dikenal sebagai rangkaian invasi (invasion succesion). Cepatnya proses ini tergantung pada laju pertumbuhan ekonomi kota dan perkembangan penduduk. Sedangkan di pihak lain, jika jumlah penduduk sebuah kota besar cenderung menurun, maka daerah disebelah luar cenderung tetap sama sedangkan daerah transisi menyusut kedalam daerah pusat bisnis. Penyusutan daerah pusat bisnis ini akan menciptakan daerah kumuh komersial dan perkampungan. Sedangkan interprestasi ekonomi dari teori konsentrik menekankan bahwa semakin dekat dengan pusat kota semakin mahal harga tanah.
Pusat kota adalah suatu titik/tempat/daerah pada suatu kota yang memiliki peran sebagai pusat dari segala kegiatan kota antara lain politik, sosial budaya, ekonomi dan teknologi (Yunus 2002;107). Peran tersebut dijalankan melalui jasa pelayanan yang diberikan oleh fasilitas-fasilitas umum maupun sosial yang ada didalamnya. Oleh karena itu, suatu pusat kota harus memiliki kelengkapan fasilitas yang baik dan memadai. Dalam kaitannya dengan peran dari sebuah pusat kota, maka teori Christaller tentang ambang penduduk (Threshold Population) wilayah cakupan layanan (Market Range) mengambil peranan penting. Fasilitas-fasilitas tersebut harus dapat melayani seluruh penduduk kota, dan juga mencakup seluruh bagian wilayah kota.
Pertumbuhan maupun perkembangan yang terjadi pada suatu kota akan sangat mempengaruhi kinerja dari pusat kota. Semakin luas suatu kota, maka akan semakin menambah ”beban” yang ditanggung oleh pusat kota. Hal tersebut berdampak langsung terhadap perkembangan pemanfaatan lahan yang semakin terbatas di pusat kota, maka dari itu perlu diketahuinya mengenai pusat pertumbuhan kota.
Pembentukan struktur kota merupakan imbas pertumbuhan besar-besaran dari populasi kota, yang mana merupakan pengaruh dari munculnya arus transportasi, pejalan kaki, menggambarkan bahwa ada 3 model struktur kota. Yang pertama adalah teori konsentris oleh Burgess, Teori Sektor oleh Hoyt, dan Teori Pusat Kegiatan Banyak oleh C.D Harris dan F.L Ullmann. (Yunus 2002;124).